Articles by "Opini"

canindonesia.com - (opini) Himne merupakan sejenis nyanyian pujaan, yang biasanya pujaan tersebut ditujukan kepada tuhan atau sesuatu yang dimuliakan. Adapun himne juga memiliki artian sebagai bentuk lagu untuk mendoakan, memberi kesan agung ataupun sebagai rasa syukur yang disampaikan dalam bentuk lagu. Dengan demikian himne ini merupakan suatu hal penting dalam memberikan bukti serta makna berarti dalam bentuk perwujudan sebuah negara maupun daerah. Itulah mengapa penggunaan bahasa akan pembuatan himne perlu disesuaikan dengan latar belakang negara maupun daerah, sehingga himne tersebut dapat diterima oleh kalangan masyarakat karena sesuai dengan keberagaman akan negara maupun daerah tersebut.

Aceh, salah satu provinsi di Indonesia yang menjadi bukti dari berbagai macam latar belakang atas fakta sejarah yang pernah terjadi. Namun Aceh sendiri merupakan salah satu provinsi yang tidak luput dari sejarah kelam, dibuktikan dengan lahirnya konflik antara TNI dan GAM yang pada saat itu menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Dengan berbagai macam kemelut yang menyelimuti Aceh pada saat itu, lahirlah peristiwa MOU Helsinki (Memorendum of Understanding) pada tanggal 15 Agustus 2005, yang merupakan perjanjian akan perdamaian antara Indonesia dan Aceh. Peristiwa itulah yang menjadi akhir atas konflik yang terjadi beberapa waktu lalu antara TNI dan tentara Aceh.

Namun jika kita mencoba memahami dampak nyata akan peristiwa MOU Helsinki tersebut, dari situlah lahir beberapa keputusan-keputusan penting yang pada akhirnya dituangkan pada UUPA (undang-undang pemerintah Aceh), salah satunya adalah peraturan yang tertuang dalam UU NO.11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh yang menyebutkan 3 hal penting, yaitu Bendera, Lambang dan Himne. Dimana  ketiga hal tersebut dimasukkan dalam undang-undang agar memperjelas dan memperlihatkan adanya kebenaran bahwa daerah aceh adalah daerah istimewa, dan jelas mencakup kekhususan dalam mengatur berbagai hal didalamya.

Perdebatan tentang Himne, satu dari tiga elemen penting yang tertuang dalm UUPA

Disaat kita mencoba menelisik lebih dalam mengenai fakta yang terjadi di lapangan akan perintah yang tertuang dalam UUPA, masih terdapat banyak perdebatan dari berbagai macam pihak atas perintah yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah (PerDa) tersebut, khususnya kebijakan-kebijakan yang tertuang di dalam Qanun yang secara nyata masih terdapat Pro Kontra dalam penerapannya. Salah satunya adalah disaat salah satu point yang tertuang dalam peraturan UU NO.11 tahun 2006 diperdebatkan, yaitu persoalan akan bahasa yang digunakan dalam wacana pelaksanaan sayembara Himne Aceh.

Pada 31 Oktober 2017, aliansi mahasiswa asal gayo yaitu Gayo Merdekamelakukan demonstrasi didepan Gedung DPRA yang menuntut ketidakadilan akan penggunaan bahasa Aceh sebagai salah satu syarat sayembara Himne Aceh. Dalam aksinya, mereka meminta agar panitia penyelenggara untuk dapat mengevaluasi hal itu. Disaat itu pula mereka menyampaikan aspirasi bahwa harus adanya keberagaman dan penyesuaian dalam penggunaan bahasa dalam Himne Aceh.

Aceh merupakan provinsi yang memiliki berbagai macam suku didalamnya, seperti suku Alas, Jamee, Haloban, Tamiang, Gayo dan lain sebagainya. Oleh karena itu, para mahasiswa yang tergabung dalam aliansi tersebut menyatakan bahwa mereka tidak ingin  terdiskriminasi terhadap bahasa yang digunakan. Sehingga mereka ingin agar aspirasi yang mereka suarakan dapat dikabulkan oleh pemerintah, sehingga akan timbul suatu korelasi dan rasa kesatuan dari seluruh masyarakat dengan tidak membeda-bedakan satu suku dengan suku yang lain, dan yang pasti lahir wujud keberagaman antar masyarakat Aceh khususnya.

Namun sebelum kita menelisik lebih jauh fakta apalagi yang akan timbul dari aksi aliansi mahasiswa tersebut, ada baiknya bagi kita untuk memahami konsep apa yang menjadi dasar pemerintah menetapkan syarat tersebut. Ada beberapa perdebatan yang timbul mengenai kebijakan atas syarat yang dikeluarkan pada sayembara Himne Aceh, apakah mungkin pemerintah menetapkan syarat namun mayoritas dari masyarakat kontra akan diberlakukannya syarat itu?.

Dalam sebuah Program penyiaran Radio, yang mengangkat judul Mungkinkah Himne Aceh Bukan Berbahasa Aceh?. Ada diskusi menarik ketika dalam salah satu sesi diberlakukan tanya jawab dengan Bardan Sahidi, yang merupakan Ketua Panitia dari sayembara Himne Aceh, yang sekaligus merupakan anggota DPRA. Hal menarik dari percakapan via telepon tersebut adalah disaat beliau mengatakan bahwa sayembara Himne Aceh itu baru sebatas pengumpulan ide, dan dia melanjutkan bahwa dalam hal ini himne dihimpun dari berbagai kalangan. Ia pun menambahkan bahwa persyaratan menyebutkan bahasa itu baru satu sebab saja, yang memungkinkan membuka ruang untuk masyarakat berpasrtisipasi, dimana sebenarnya beliau pun sepakat agar Himne tersebut mengakar ke seluruh penjuru Aceh.

Opsi menanggapi konflik atas perdebatan yang terjadi

Disaat kita ingin menyelesaikan polemik atas suatu konflik, maka kita harus melihat darimana akar persoalan ini berasal. Sehingga hal tersebutlah yang menjadi salah satu opsi yang setidaknya dapat meminimalisir perdebatan yang terjadi diberbagai macam pihak. Ada beberapa pendapat yang dapat dijadikan kesimpulan bahwa persoalan atas sayembara Himne ini bukanlah persoalan yang sulit, selagi kita paham dasar persoalan dan instansi mana saja yang memiliki keterkaitan akan hal itu.

Aliansi mahasiswa berdemonstrasi dengan tujuan agar aspirasi yang mereka suarakan dapat diterima oleh pemerintah, karena secara umum itu adalah suatu bentuk kepedulian terhadap suku dan bahasa mereka. Begitu pula dengan apa yang disampaikan ketua panitia sayembara Himne Aceh ini sendiri, beliau melaksanakan sayembara ini dengan membuka ruang seluas-luasnya agar masyarakat dapat berpartisipasi.

Pada dasarnya, ada 3 opsi penerapan kebijakan yang dapat dimasukkan kedalam perdebatan akan pemakaian bahasa ini. Pertama adalah disaat kita ingin menghargai keberagaman bahasa di aceh, yaitu dengan memasukkan beberapa bahasa yang ada di aceh kedalam beberapa bait lagu Himne Aceh tersebut atau memaksimalkan alat musik khas dari beberapa suku di aceh sebagai backsound dari Himne Aceh itu sendiri . Kedua, dengan memperhatikan bahwa mayoritas masyarakat di Aceh menggunakan bahasa Aceh dalam keseharian, maka tidak ada salahnya kita menggunakan bahasa Aceh tersebut kedalam Himne Aceh, namun dengan pengertian yang diberikan pemerintah sebagai pengambil keputusan mutlak kepada masyarakat minoritas. Ketiga, walaupun ini adalah persoalan tentang Himne Aceh, bukanlah hal yang salah jika kita mencoba tetap menggunakan bahasa indonesia ke dalam lirik lagunya, mengingat Aceh sendiri juga merupakan bagian dari NKRI. Dengan catatan setiap lirik lagu tetap bernuansa Aceh yang nyata.

Tapi apapun persoalan, polemik maupun perdebatan dalam sayembara Himne Aceh, ada satu kesepakatan yang memiliki tujuan sama antara masyarakat dan pemerintah sebagai panitia, yaitu menginginkan adanya suatu korelasi akan keberagaman, dengan tujuan agar Himne Aceh membumi dan mengakar ke seluruh penjuru Aceh tanpa ada diskriminasi terhadap siapapun dan apapun itu. 


Penulis: Musrafiyan
Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah Dan Hukum,  
Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh


canindonesia.com - Zaim Saidi, adalah aktivis Islam yang aktif mengkampanyekan Dinar Dirham bagi masa depan Ummat Manusia. Ia menulis sebuah artikel yang viral dan mengagetkan banyak orang berjudul Misteri Pemilikan Bank Indonesia. Berikut tulisannya.

Kebanyakan orang, warga negara di hampir semua negara nasional di dunia ini, tidak memahami bahwa mata uang kertas yang mereka pakai di negaranya bukanlah terbitan pemerintah. Hak monopoli penerbitan uang kertas diberikan kepada perusahan-perusahaan swasta yang menamakan dirinya sebagai bank sentral. Sebelum ada bank sentral  sejumlah bank swasta menerbitkan nota bank yang berlaku sebagai alat tukar tersebut. Dimulai di Inggris, dengan kelahiran Bank of England, hak menerbitkan uang kertas itu mulai diberikan hanya kepada satu pihak saja. Memang, kebanyakan bank sentral itu melabeli dirinya dengan nama yang berbau-bau  nasionalisme, sesuai negara masing-masing.
Bank Sentral Milik Keluarga-Keluarga
Marilah kita ambil bank sentral paling berpengaruh saat ini, yaitu Federal Reserve AS, yang menerbitkan dolar AS. Saham terbesar Federal Reserve of America ni   dimiliki oleh dua bank besar, yaitu Citibank (15%)  dan Chase Manhattan (14%).  Sisanya dibagi oleh 25 bank komersial lainnya, antara lain Chemical Bank (8%), Morgan Guaranty Trust (9%), Manufacturers  Hannover (7%), dsb.  Sampai pada  tahun 1983 sebanyak  66% dari total saham Federal Reserve AS  ini, setara dengan 7.005.700 saham, dikuasai hanya oleh 10 bank komersial, sisanya 44% dibagi oleh 17 bank lainnya.
Bahkan, kalau dilihat dengan lebih sederhana lagi, 53% saham Federal Reserve AS dimilik hanya oleh lima  besar yang disebutkan di atas.  Bahkan, kalau diperhatikan benar, saham yang menentukan pada Federal Reserve Bank of New York, yang menetapkan tingkat dan skala operasinya secara keseluruhan  berada di bawah pengaruh bank-bank yang secara langsung dikontrol oleh London Connection, yaitu, Bank of England, yang dikuasai oleh keluarga Rothschild.
Sama halnya dengan bank-bank sentral di berbagai negara lain,  namanya berbau nasionalis, tapi pemilikannya adalah privat.   Bank of England, sudah disebutkan sebelumnya, bukan milik rakyat Inggris tapi para bankir swasta, yang sejak 1825  sangat kuat di bawah pengaruh satu pihak saja, keluarga Rothschild. Pengambilalihan oleh keluarga ini terjadi setelah  mereka mem-bail out utang negara saat terjadi krisis di Inggris.
Sanghai and Hong Kong Bank bukan milik warga Hong Kong tapi di bawah kontrol Ernest Cassel. Keduanyamenerbitkan dolar Hong Kong. Sama halnya dengan  National Bank of Marocco dan National Bank of Egypt didirikan dan dikuasai oleh Cassel yang sama,  bukan milik kaum Muslim Maroko atau Mesir.  Imperial Ottoman Bank bukan milik rakyat Turki melainkan dikendalikan oleh  Pereire Bersaudara, Credit Mobilier, dari Perancis.   Demikian  seterusnya.
Jadi, Bank-bank Nasionalseperti ini, sebenarnya, adalah sindikat keuangan inter-nasional, modal antar-bangsayang secara riel tidak ada dalam bentuk aset nyata (specie)  apa pun,  kecuali dalam bentuk angka-angka nominal di atas kertas atau byte yang berkedap-kedip di permukaan layar komputer. Bank-bank ini sebagian  besar dimiliki oleh keluarga-keluarga yang sebagian sudah disebutkan di atas.
Utang-utang yang mereka berikan kepada pemerintahan suatu negara tidak pernah diminta oleh rakyat negara tempat mereka beroperasi tapi dibuat oleh pemerintahan demokratis yang mengatasnamakan warga negara.  Mereka,  para bankir ini, adalah  orang-orang yang  tidak dipilih, tak punya loyalitas kebangsaan, dan tidak akuntabel, tetapi mengendalikan kebijakan paling mendasar suatu negara. Dan, setiap kali mereka menciptakan kredit, setiap kali  itu pula mereka mencetak uang baru dari byte komputer belaka.
Bank Indonesia Milik Siapa?
Kalau bank-bank sentral di negeri-negeri lain milik keluarga tertentu yang tidak memiliki loyalitas kebangsaan, siapakah yang memiliki Bank Indonesia?
Ini adalah pertanyaan valid yang seharusnya kita ajukan sebagai warga negara Republik Indonesia. Kita tahu, rupiah pun diterbitkan oleh BI, sebagai pihak yang diberi hak monopoli untuk itu. Kita tidak pernah diberitahu siapa pemegang sahamBI. Tapi, marilah kita tengok sejarah asal-muasal bank sentral di Indonesia ini.
Begitu Indonesia dinyatakan merdeka, para pendiri republik baru ini, menetapkan BNI 1946 sebagai bank sentral, dan menerbitkan uang kertas pertamanya, yaitu ORI (Oeang Repoeblik Indonesia), dengan standar emas, setiap Rp 10 didukung dengan 5 gr emas. Ini artinya setiap rupiah dijamin dengan 0.5 gr emas.
Tapi, ketika Ir Soekarno dan Drs M Hatta menyatakan kemderdekaan RI, Pemerintah Kolonial Belanda tidak mengakuinya, apalagi menyerahkan kedaulatan republik baru ini. Belanda mengajukan beberapa syarat untuk  dipenuhi, dan selama beberapa tahun terus mengganggu secara militer, dengan beberapa agresi KNIL. Akhirnya, sejarah menunjukkan pada kita, terjadilah perundingan itu, 1949, dengan nama Konferensi Meja Bundar (KMB).
Melalui Konferensi Meja Bundar (KMB), 1949, disepakatilah beberapa kondisi pokok agar RI dapat pengakuan Belanda.
· Pertama, penghentian Bank Negara Indonesia (BNI) 1946 sebagai bank sentral republik, dan digantikan oleh N.V De Javasche Bank, sebuah perusahaan swasta milik beberapa pedagang Yahudi Belanda, yang berganti nama menjadi Bank  Indonesia (BI).
· Kedua, dengan lahirnya bank sentral baru itu pencetakan Oeang Republik Indonesia (ORI), sebagai salah satu wujud kedaulatan republik baru itu dihentikan, digantikan dengan Uang Bank Indonesia (direalisasikan sejak 1952).
· Ketiga, bersamaan dengan itu, utang pemerintahan kolonial Hindia Belanda sebesar 4 miliar dolar ASkepada para bankir swasta itu tentunya diambilalih dan menjadi dosa bawaanrepublik baru ini.
Kondisi ini berlangsung sampai pertengahan 1965, ketika Bung Karno menyadari kuku-kuku neokolonialisme yang semakin kuat mencenkeram bangsa muda ini. Maka, Agustus 1965, Bung Karno memutuskan  menolak kehadiran lebih lama IMF dan Bank Dunia  di Indonesia, bahkan menyatakan merdeka dari  Perserikatan Bangsa Bangsa.  Sebelumnya, antara 1963-1965,  Presiden Soekarno telah menasionalisasi aset-aset perusahaan-perusahaan Inggris dan Malaysia, serta Amerika; sebagai kelanjutan dari pengambilalihan aset-aset perusahaan Belanda, pada masa 1957-1958.
Tapi Bung Karno harus membayar mahal tindakan politik penyelamatan bangsa Indonesia dari kuku neokolonialisme ini: Ir Soekarno harus enyah dari Republik ini, dan itu terjadi 1967, dengan naiknya Jenderal Soeharto sebagai Presiden RI ke-2. Dengan enyahnya Ir Soekarno, neokolonialsme bukan saja kembali, tetapi menjadi semakin kuat. Tindakan pertama Jenderal Soeharto, 1967, adalah mengundang kembali IMF dan Bank Dunia, dan kembali menundukkan diri sebagai anggota PBB.
Nekolonialisme Berlanjut
Berkuasanya Orde Baru, di bawah Jenderal Soeharto, menjadi alat kepanjangan neokolonilaisme melalui  pemberian paket bantuan pembangunan. Untuk dapat membangun, bagi bangsa-bangsa terbelakang, miskin dan bodoh, dalam definisi baru sebagai Dunia Ketiga”’ yang baru merdeka ini,  tentu memerlukan uang. Maka  disediakankan  ‘paket bantuan, termasuk sumbangan untuk mendidik segelintir elit, tepatnya mengindoktrinasi mereka, dengan ilmu ekonomi pembangunan, manajemen pemerintahan; plus pinjaman lunak, bantuan pembangunan, lewat lembaga-lembaga keuangan internasional (dengan dua lokomotifnya yakni IMF, Bank Pembangunan/Bank Dunia).
Kepada segelintir elit baru ini diajarkanlah ekonomi neoklasik, dengan model pembiayaan melalui defisit-anggaran-nya, dengan teknik Repelita bersama mimpi-mimpi elusif Rostowian-nya (teori Tinggal Landas yang terkenal itu), sebagai legitimasi dan pembenaran bagi utang negara yang disulap menjadi proyek-proyek pembangunandan diwadahi dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Untuk hal-hal teknis para teknokrat tersebut, kemudian didampingi’  oleh para konsultan spesial para economic hit men sebagaimana dipersaksikan oleh John Perkins itu. Semuanya, dilabel dengan nama indah, Kebijakan dan Perencanaan Publik.
Maka, utang luar negeri Indonesia yang hanya 6.3 milyar dolar AS di akhir masa Soekarno (dengan 4 miliar dolar di antaranya adalah warisan Hindia Belanda tersebut di atas), ketika Orde Baru berakhir menjadi 54 milyar dolar AS (posisi Desember 1997).  Lebih dari sepuluh tahun sesudah Soeharto lengser utang luar negeri kita pun semakin membengkak menjadi sekitar 250 milyar dolar AS saat ini. Sekitar 10 kalilipat! Kita tahu, jatuhnya Jenderal Soeharto, adalah akibat krisis moneter, yang disebabkan oleh kelakuan para bankir dan spekulan valas.  Tetapi, rumus klasik dalam menyelesaikan krisis moneteradalah bail out, yang artinya pemerintah atas nama rakyat harus melunasi utang itu. Ironisnya, langkahnya adalah dengan cara mengambil utang baru, dari para bankir itu sendiri!
Dan, bayaran untuk itu semua, dari ironi menjadi tragedi, adalah republik ini kini sepenuhnya dikendalikan oleh para bankir. Melalui letter of intent seluruh kebijakan pemerintahan RI, tanpa kecuali, hanyalah menuruti semua yang ditetapkan oleh para bankir. Dua di antaranya yang terkait dengan bank sentral dan kebijakan uang adalah:
1. Mulai 1999, Bank Indonesia, yang semula adalah De Javasche Bank itu, telah sama sekali dilepaskan dari Republik Indonesia. Gubernur BI bukan lagi bagian dari Kabinet RI. Ia tidak lagi akuntabel kepada rakyat
2. Mulai 2011 melalui UU Mata Uang Bank Indonesia dilegalisir sebagai pemegang hak monopoli menerbitkan uang fiat di Indonesia. Dan bersamaan dengan ini dilakukan kriminalisasi atas pemakaian mata uang lain sebagai alat tukar di Republik Indonesia. Dengan pengecualian bila diperjanjikan.
3. Dengan sendirinya pembiayaan BI di luar APBN. Keuntungan operasional sebagai bank sentral, dan satu-satunya pemain valas terbesar, dan legal, tidak pernah diketahui publik. Jumlahnya maupun penggunaannya.

Moersi di Dalam Penjara Rezim Kudeta Berdarah

canindonesia.com - (dunia) Salafi adalah sebuah gerakan Islam yang dinisbahkan kepada pemurnian ajaran Islam. Di indonesia, gerakan salafi mengklaim diri sebagai pengawal sunnah. Mereka melakukan pemurnian ajaran Islam dari perbuatan kurafat, bidah dan syirik. Melalui propaganda dan ajarannya, gerakan ini kerap bersikap keras kepada selain dari kelompok mereka.
Di beberapa tempat, termasuk di Aceh, Salafi bahkan diusir dari perkampungan oleh masyarakat setempat karena dianggap selalu berbeda dan sering menuduh sesat kepada masyarakat.

Jamaah Salafi dituding berusaha memisahkan ummat Islam dengan ulama lain selain dengan ulama dari kalangan mereka sendiri. Bahkan dalam beberapa pernyataannya, salafi berhadapan dengan isu besar ummat Islam di Indonesia termasuk aksi Bela Islam 212. Beberapa Aksi Bela Islam di Indonesia adalah aksi terbesar dalam sejarah ummat manusia yang menuntut pemerintahan Jokowi bersikap tegas dan adil kepada penista agama. Aksi ini menjadi perhatian terbesar di seluruh dunia.

Dalam beberapa pernyataan melalui video pendek, ‘ustad sunnah’ Salafi mengolok-olok dan menyebut gerakan aksi bela Islam yang menghadirkan ummat Islam berjumlah jutaan orang sebagai perbuatan bathil dan bodoh. Demo tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah. Untuk palestina, sampai kiamatpun tidak akan menghasilkan apa-apa, kecuali macet dan kerusakan” kata mereka.

Diduga pendukung salafi membagikan info grafis yang menyebutkan ulama mereka adalah ulama sunnah dan ulama lainnya bukan ulama sunnah. Pernyataan ini dikecam oleh netizen yang mengkhawatirkan semakin jauh dari persatuan ummat.

Beberapa info grafis yang mereka bagikan di sosial media, menunjukkan sikap mereka mendukung pemerintahan Jokowi dengan dalil bahwa pemerintah haram untuk di demo. Pernyataan tendensius kontraproduktif disuarakan ditengah kemarahan rakyat atas kondisi sosial politik ummat Islam di Indonesia yang mengkhawatirkan atas kebijakan represif pemerintah yang menangkapi para ulama yang dicintai ummat.

Salah satu akun pendukung salafi di sosial media mengatakan, wajib bagi kita mendukung pemerintahan meskipun pemerintah memukul kita dan merampas harta kita’.

Apa yang terjadi di Indonesia, ternyata juga pernah terjadi di Mesir. Jamaah Salafi Mesir juga mengharamkan Demo kepada pemerintah yang sah Hosni Mubarak, meskipun zalim.
Namun dalam perkembangan politiknya Salafi akhirnya mengambil peran dengan menjadi partai politik bernama An Nur dan ikut serta dalam pemilu.
Partai Salafi An Nur mempertahankan sikapnya dengan bersikap keras bahkan di parlemen. Mereka suarakan azan di ruangan sidang saat digelar sidang dewan. Mereka juga konsisten menggunakan atribut Islam dan tentu saja mengharamkan demo.

Namun saat kudeta berdarah terjadi, dan ribuan rakyat Mesir dibunuh oleh kudeta berdarah jendral As Sisi, Partai An Nur ini malah lebih mendukung kudeta berdarah dari pada kepemimpinanan ummat yang diraih oleh ummat Islam melalui demokrasi paling demokratis pertama di Mesir, dimana seluruh ummat Islam terlindungi dan penjara dikosongkan dari ulama-ulama yang dituduh makar. Pemimpin Mesir baru hasil pemilu, presiden Muhammad Moersi dikudeta. Partai An Nur setuju Kudeta, kudeta lebih kasar dari sekedar demonstrasi.

Sebagian besar pimpinan partai An Nur setuju mendukung As Sisi dan menyebutkan Ikhwanul Muslimin telah tamat.
Para pengamat Timur tengah mengatakan tak ada alasan apapun yang sah mereka (Salafi) boleh membelakangi ummat Islam Mesir.

Salafi An Nur dan Salafi di Indonesia mungkin punya sikap yang sama terhadap Isue ummat Islam. Dalam kontek pemerintahan Jokowi dan ummat Islam disisi lain, Salafi di Indonesia bisa berubah menjadi partai politik, dan kembali berhadapan dengan  ummat Islam demi sebuah ambisi.
Sikap keras dan kakunya Salafi selama ini ternyata tidak masuk dalam radar kriteria pemerintah sebagai ormas atau jamaah yang diincar untuk dibubarkan karena  membahayakan keutuhan negara.

Sebelumnya, ustadz sunnah salafi bernama Syafiq Basalamah melontarkan tuduhan, Ikhwanul Muslimin adalah ibu dari teroris ISIS. Pernyataan ini langsung mendapat respon dari Ulama moderat Saudi, bahwa, selama ini justru Salafilah yang lebih memenuhi ciri ISIS, dengan segala sikap kaku, keras, dan suka mengkafirkan. Sedangkan Ikhwanul Muslimin dalam sejarahnya justru secara aktif mendukung Indonesia merdeka dan berjuang dengan cara paling elegan tanpa senjata. Tuduhan Salafi ini tentu berbahaya bagi Ummat Islam.


canindonesia.com - (opini) oleh : Sulaiman Tripa .
Kita sering menemukan anomali dalam hidup. Orang melakukan hal-hal yang tidak boleh, dengan mengelabui pada hal-hal yang boleh. Berbuat jahat dengan terlebih dahulu menampilkan kesan baik. Atau melakukan sesuatu yang sebenarnya batil, melalui jalur yang tampaknya lurus.

Kenyataan ini bisa muncul dalam berbagai level. Tidak hanya di tingkat atas. Jika ingin diurutkan masing-masing dalam kelas sosial yang bernama strata, maka orang-orang yang melakukan hal-hal yang tidak boleh itu, ada dalam berbagai level. Baik level atas, maupun level bawah.

Tidak ada jaminan orang yang sudah memiliki dua mobil (mewah), dengan beberapa rumah (megah), lalu tidak mencoba merampas peng bicah (uang receh) secara tidak berhak. Dan penggambaran ini tidak lantas, bahwa orang yang pada level bawah bisa melakukan hal yang demikian.

Rasuah menjadi satu wajah pada level atas. Bagaimana pelaku dan perilaku mencoleng itu berubah dan beradaptasi melalui berbagai wajah. Sebaliknya, corak perilaku yang lain, tampak seperti penggunaan berbagai bahan kimia dalam makanan yang akan dijaja kepada penjual. Rasuah mendapat untung besar, penjaja makanan yang berbahan kimia mendapat untung secuil. Keduanya sama-sama berimplikasi serius bagi banyak orang.

Itulah yang terjadi pada bulan puasa yang kita lewati. Sejumlah kasus korupsi ditemukan dengan berbagai modus dan coraknya. Lalu temuan penggunaan boraks dan formalin dalam makanan yang sepertinya juga semakin menggelisahkan. Lokasi temuan juga berubah. Dari yang hanya terkontrol di pusat, lalu bergeser ke pinggir. Dari perilaku yang bernilai miliaran, hingga pada angka beberapa juta saja.

Seyogianya setelah sebulan kita melakukan puasa, akan ada perubahan besar sesudahnya. Akan semakin berpengaruh pada keimanan. Sudah seharusnya puasa membuat kita semua semakin mempertebal keimanan dalam hal meluruskan segala niat. Puasa seyogianya menempatkan orang untuk tidak semakin rakus. Kita yang memiliki jabatan, berpeluang rakus terhadap berbagai fasilitas. Sedangkan mereka yang tidak memiliki jabatan, rakus dengan caranya sendiri: ingin untung banyak dari modal yang tidak seberapa.

Corak rakus ini, pada hakikatnya seperti orang tidak percaya akan ketentuan Allah yang sudah menentukan rezeki kita masing-masing. Tidak perlu menipu untuk mendapatkan rezeki bersih. Dengan logika bahwa semua kita sudah memiliki tumpuk masing-masing, maka seharusnya tidak ada yang perlu ditakutkan. Orang-orang yang tidak rakus, memungkinkan tidak menerima apapun selain apa yang menjadi miliknya saja. Bagi yang rakus dan ingin untung besar, bisa jadi karena takut tumpuknya akan hilang. Sedangkan kita yang punya jabatan, memiliki corak lain. Seharusnya tidak perlu meminta, mengiba, memohon, atau bahkan mengancam agar orang lain memberikan fasilitas untuk diri kita. Berbagai fasilitas itu, pada dasarnya sebagai kompensasi atas apa yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah seharusnya melayani kepentingan orang banyak.

Ketika ada orang-orang yang sudah digaji secara layak, lalu ditambah pada saat tertentu dengan tambahan gaji ke-13 dan tunjangan hari raya ketika mendekati perayaan hari fitri, namun masih terus juga meminta atau menerima sesuatu dari orang yang dilayani, maka orang itu termasuk dalam kategori rakus itu. Sesungguhnya melebihi dari rakus dan tamak. Orang-orang semacam itu justru sudah menjadikan posisinya untuk mendapatkan sesuatu secara tidak sah. Tidak peduli kompensasi itu dinamakan dengan bahasa yang halus semisal administrasi seikhlasnya, atau semacamnya.

Ketika ada orang yang sudah menempa diri dengan berpuasa, namun belum bisa menahan diri dari godaan ketamakan, maka harus dilakukan refleksi terutama refleksi batin atas ibadah yang sudah dilakukannya. Harus muncul pertanyaan mengapa ketika melaksanakan ibadah yang penuh berkah, ternyata belum bisa memosisikan seseorang untuk mendapatkan keberkahan itu secara sempurna. Posisi ketamakan dan kerakusan akan berlipat ganda apabila untuk bertanya dan berfikir untuk itu saja tidak ada.

Mudah-mudahan Allah menjauhkan ketamakan dan kerakusan ini dari orang-orang yang sudah meningkatkan durasi ibadahnya di bulan muliauntuk kemudian menjadi titik penting bagi waktu selanjutnya untuk berubah.

Hal ini bukan hal main-main. Menerima sesuatu yang berasal dari jalur yang tidak lurus, sangat fatal akibatnya, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia manusia bisa berkelit dari berbagai pihak yang melakukan pengawasan, bisa berdalih dengan berbagai macam alibi. Akan tetapi tunggulah pengawasan suruhan Pencipta yang tidak bisa berkelit dan berdalih. Semuanya akan secara benderang dinampakkan di depan hidung kita, ketika mahkamah itu sudah sampai masanya.

*Sulaiman Tripa adalah Pengamat Sosial dan Hukum Dari Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.


canindonesia.comKejadiannya serasa baru saja berlalu, Rabu tengah tahun 1972 itu, kelas 4 SD Tringmeuduro - (pedalaman Aceh Selatan) - nyaris kosong yang datang hanya 6  dari 14 murid,  - berhari hari hujan tumpah ruah, air meluap dan teman teman saya diseberang sungai - tidak dapat menyeberang datang.

Ayah mengatakan tidak ada alasan untuk tidak ke sekolah, tidak perlu berpayung daun pisang - ke sekolah berpayung hitam (kemewahan kala itu), dan   karena keseharian  tidak memakai selop,  tiap kali ke sekolah yang mengharuskan berselop - adalah siksaan bagi telapak kaki.

Dari 6 orang guru hari itu hanya 2  yang datang,  Pak Adam (kepala sekolah), dan Ibu Syahminar.  Pak Adam memberi tugas berhitung di kelas 6, tugas mengarang di kelas 5, dan mengajar sejarah di kelas 4 kami.
Pak Adam mengambil atlas besar yg tergantung di dinding, menggantung pada papan tulis dan  berceritera sejarah benua Amerika, begitu hidup  -  seolah pernah ke Dakota, Iowa, dan DC. sungguh saya terkesima.

Bagi saya pada mulanya Pak Adam adalah sosok berselaput misteri dikarenakan cara dan logat bahasa yang tidak lazim bagi dialek Tringmeuduro,  - (belakangan saya tahu beliau berasal  dari Bireun, dari Aceh Utara,  datang menjadi guru SD di kampung kami  dan menikah dengan anak Toke Ganti).

Tringmeuduro 1972 adalah lembah pedalaman yang sejuk, sering dilingkup kabut pagi, suara gemuruh hewan rimba,  rerumputan tumbuh di jalanan  tanah, sawah subur dan sungai jernih bebatuan membiarkan ikan dan udang meliuk sepanjang kaki bukit.

Bila malam luruh, rumah akan diterangi "panyot",  lampu minyak tanah disangkut di dinding, - (lampu "strong king" hanya dimiliki 2 atau 3 rumah adalah kemewahan tiada tara).
Kalau berjalan malam banyak orang membawa "suwa" (daun kelapa yg dikeringkan  diikat bulat dan dibakar sambil dikibas kibas, utk menerangi gulita.

Datang dari tempat yang "jauh"  butuh 3 hari perjalanan darat kala itu, - Pak Adam (yang akrab dengan Ayah sesama guru) selalu necis, rambut tersisir rapi beraroma minyak Tancho.
Kalau mengajar sering berbaju putih terseterika rapi (karena dikanji dan diblau), bercelana rapi bersandal kulit, rasanya sangat sempurna (banyak kami ingin menjadi guru sepertinya).
Gaya bertutur yang lembut dan teduh membuat kami merasa terlindungi dan hormat hingga nyaris tidak berani menatap wajahnya.

Pada akhir pelajaran hari itu -  (yang hanya sekitar 50 menit) - , saya ingat ...sambil menatap kami Pak Adam mengatakan perjalanan hidup ini seperti impian, setiap kalian boleh - dan harus bermimpi setinggi  tingginya karena itulah pedoman perjalanan, tapi  impian itu tidak bisa diraih tanpa pendidikan, dan kelak pada masanya kita ingin maju seperti Amerika, tapi tetaplah Aceh seperti sediakala, - (ucapan yang kala itu terasa biasa biasa saja).

Kemarin saya berdiri beberapa meter persis di depan pintu White House -  simbol AS,  - serta.. menjadi presenter sebagai bagian dari salah satu konferensi tahunan bidang paru yang sangat prestisius saat ini :  American Thoracic Society International Conference - yang diselenggarakan di DC.

DC ibukota Amerika Serikat di musim panas 2017, kota yang aristrokat,  dalam ruangan museum di DC saya seperti mendengar kembali cerita  Pak Adam -  tentang  kearifan, kesetiaan pada kaum, kehormatan dan tragedi kemanusiaan kaum Indian.

Sungguh tidak tergapai dalam imajinasi kanak kanak kala itu - (saya ingat betul diluar kelas hujan deras mendera dan suara petir bergemuruh menerkam bumi) - pada akhir ceritera 45 tahun lalu ltu P. Adam mengatakan kita orang Aceh tidak boleh  bernasib  Indian, kita ingin maju seperti Amerika, tapi tetap menjadi Aceh seperti sedia kala.

Di musium  DC hari itu saya  terhenyak, 45 tahun yang tertinggal -  rasanya baru saja berlalu. . .
...old teacher never die, he just fade away...

(ditulis oleh DR. dr. Mulyadi Sp. P (K), mantan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala)


canindonesia.com -(Banda Aceh) Beberapa hari lagi Muslim di seluruh dunia akan menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Beragam persiapan menyambut bulan suci ummat Islam itu telah mulai disiapkan. Namun di Aceh, ada tradisi yang secara turun termurun menjadi kebiasaan yang sangat sakral dilakukan, yaitu Meugang.


Dalam tradisi Masyarakat Aceh, Meugang adalah serangkaian aktivitas membeli, menyembelih, memasak, makan bersama dan membagikan daging hewan sapi, kerbau ataupun kambing kepada handai tolan dan fakir miskin.

Kegiatan Meugang biasanya dilakukan sebanyak tiga kali dalam setahun. Dua hari menjelang bulan Ramadhan, menjelang Idul Fitri, dan menjelang Idul Adha.
Antusias masyarakat untuk menjalankan tradisi ini melekat kuat bagi seluruh masyarakat Aceh baik yang ada di Aceh, maupun di luar daerah dan bahkan di luar negeri. 

Sejak kapan tradisi ini hidup di Aceh? Dikisahkan, Tradisi Meugang sudah berlangsung sejak masa Kesultanan Iskandar Muda di Aceh. Sultan terbesar dalam sejarah kerajaan di nusantara itu kerap mengundang dan memberikan makanan kepada rakyatnya. Ia mendata kebutuhan rakyatnya melalui kepala desa atau pemimpin teritorial di gampong-gampong sejak sebulan sebulan sebelum Meugang, membagikan dan menghidangkan makanan setiap kali memasuki bulan suci Ramadhan dan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. 

Tradisi ini terus berlangsung hingga saat ini. Rasanya ada sesuatu yang kurang jika Meugang terlewatkan begitu saja. Masyarakat di luar daerah beramai-ramai pulang ke Aceh hanya untuk menikmati tradisi Meugang dan berkumpul bersama keluarganya. 


Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget