Articles by "Hukum"

canindonesia.com - (opini) Himne merupakan sejenis nyanyian pujaan, yang biasanya pujaan tersebut ditujukan kepada tuhan atau sesuatu yang dimuliakan. Adapun himne juga memiliki artian sebagai bentuk lagu untuk mendoakan, memberi kesan agung ataupun sebagai rasa syukur yang disampaikan dalam bentuk lagu. Dengan demikian himne ini merupakan suatu hal penting dalam memberikan bukti serta makna berarti dalam bentuk perwujudan sebuah negara maupun daerah. Itulah mengapa penggunaan bahasa akan pembuatan himne perlu disesuaikan dengan latar belakang negara maupun daerah, sehingga himne tersebut dapat diterima oleh kalangan masyarakat karena sesuai dengan keberagaman akan negara maupun daerah tersebut.

Aceh, salah satu provinsi di Indonesia yang menjadi bukti dari berbagai macam latar belakang atas fakta sejarah yang pernah terjadi. Namun Aceh sendiri merupakan salah satu provinsi yang tidak luput dari sejarah kelam, dibuktikan dengan lahirnya konflik antara TNI dan GAM yang pada saat itu menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Dengan berbagai macam kemelut yang menyelimuti Aceh pada saat itu, lahirlah peristiwa MOU Helsinki (Memorendum of Understanding) pada tanggal 15 Agustus 2005, yang merupakan perjanjian akan perdamaian antara Indonesia dan Aceh. Peristiwa itulah yang menjadi akhir atas konflik yang terjadi beberapa waktu lalu antara TNI dan tentara Aceh.

Namun jika kita mencoba memahami dampak nyata akan peristiwa MOU Helsinki tersebut, dari situlah lahir beberapa keputusan-keputusan penting yang pada akhirnya dituangkan pada UUPA (undang-undang pemerintah Aceh), salah satunya adalah peraturan yang tertuang dalam UU NO.11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh yang menyebutkan 3 hal penting, yaitu Bendera, Lambang dan Himne. Dimana  ketiga hal tersebut dimasukkan dalam undang-undang agar memperjelas dan memperlihatkan adanya kebenaran bahwa daerah aceh adalah daerah istimewa, dan jelas mencakup kekhususan dalam mengatur berbagai hal didalamya.

Perdebatan tentang Himne, satu dari tiga elemen penting yang tertuang dalm UUPA

Disaat kita mencoba menelisik lebih dalam mengenai fakta yang terjadi di lapangan akan perintah yang tertuang dalam UUPA, masih terdapat banyak perdebatan dari berbagai macam pihak atas perintah yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah (PerDa) tersebut, khususnya kebijakan-kebijakan yang tertuang di dalam Qanun yang secara nyata masih terdapat Pro Kontra dalam penerapannya. Salah satunya adalah disaat salah satu point yang tertuang dalam peraturan UU NO.11 tahun 2006 diperdebatkan, yaitu persoalan akan bahasa yang digunakan dalam wacana pelaksanaan sayembara Himne Aceh.

Pada 31 Oktober 2017, aliansi mahasiswa asal gayo yaitu Gayo Merdekamelakukan demonstrasi didepan Gedung DPRA yang menuntut ketidakadilan akan penggunaan bahasa Aceh sebagai salah satu syarat sayembara Himne Aceh. Dalam aksinya, mereka meminta agar panitia penyelenggara untuk dapat mengevaluasi hal itu. Disaat itu pula mereka menyampaikan aspirasi bahwa harus adanya keberagaman dan penyesuaian dalam penggunaan bahasa dalam Himne Aceh.

Aceh merupakan provinsi yang memiliki berbagai macam suku didalamnya, seperti suku Alas, Jamee, Haloban, Tamiang, Gayo dan lain sebagainya. Oleh karena itu, para mahasiswa yang tergabung dalam aliansi tersebut menyatakan bahwa mereka tidak ingin  terdiskriminasi terhadap bahasa yang digunakan. Sehingga mereka ingin agar aspirasi yang mereka suarakan dapat dikabulkan oleh pemerintah, sehingga akan timbul suatu korelasi dan rasa kesatuan dari seluruh masyarakat dengan tidak membeda-bedakan satu suku dengan suku yang lain, dan yang pasti lahir wujud keberagaman antar masyarakat Aceh khususnya.

Namun sebelum kita menelisik lebih jauh fakta apalagi yang akan timbul dari aksi aliansi mahasiswa tersebut, ada baiknya bagi kita untuk memahami konsep apa yang menjadi dasar pemerintah menetapkan syarat tersebut. Ada beberapa perdebatan yang timbul mengenai kebijakan atas syarat yang dikeluarkan pada sayembara Himne Aceh, apakah mungkin pemerintah menetapkan syarat namun mayoritas dari masyarakat kontra akan diberlakukannya syarat itu?.

Dalam sebuah Program penyiaran Radio, yang mengangkat judul Mungkinkah Himne Aceh Bukan Berbahasa Aceh?. Ada diskusi menarik ketika dalam salah satu sesi diberlakukan tanya jawab dengan Bardan Sahidi, yang merupakan Ketua Panitia dari sayembara Himne Aceh, yang sekaligus merupakan anggota DPRA. Hal menarik dari percakapan via telepon tersebut adalah disaat beliau mengatakan bahwa sayembara Himne Aceh itu baru sebatas pengumpulan ide, dan dia melanjutkan bahwa dalam hal ini himne dihimpun dari berbagai kalangan. Ia pun menambahkan bahwa persyaratan menyebutkan bahasa itu baru satu sebab saja, yang memungkinkan membuka ruang untuk masyarakat berpasrtisipasi, dimana sebenarnya beliau pun sepakat agar Himne tersebut mengakar ke seluruh penjuru Aceh.

Opsi menanggapi konflik atas perdebatan yang terjadi

Disaat kita ingin menyelesaikan polemik atas suatu konflik, maka kita harus melihat darimana akar persoalan ini berasal. Sehingga hal tersebutlah yang menjadi salah satu opsi yang setidaknya dapat meminimalisir perdebatan yang terjadi diberbagai macam pihak. Ada beberapa pendapat yang dapat dijadikan kesimpulan bahwa persoalan atas sayembara Himne ini bukanlah persoalan yang sulit, selagi kita paham dasar persoalan dan instansi mana saja yang memiliki keterkaitan akan hal itu.

Aliansi mahasiswa berdemonstrasi dengan tujuan agar aspirasi yang mereka suarakan dapat diterima oleh pemerintah, karena secara umum itu adalah suatu bentuk kepedulian terhadap suku dan bahasa mereka. Begitu pula dengan apa yang disampaikan ketua panitia sayembara Himne Aceh ini sendiri, beliau melaksanakan sayembara ini dengan membuka ruang seluas-luasnya agar masyarakat dapat berpartisipasi.

Pada dasarnya, ada 3 opsi penerapan kebijakan yang dapat dimasukkan kedalam perdebatan akan pemakaian bahasa ini. Pertama adalah disaat kita ingin menghargai keberagaman bahasa di aceh, yaitu dengan memasukkan beberapa bahasa yang ada di aceh kedalam beberapa bait lagu Himne Aceh tersebut atau memaksimalkan alat musik khas dari beberapa suku di aceh sebagai backsound dari Himne Aceh itu sendiri . Kedua, dengan memperhatikan bahwa mayoritas masyarakat di Aceh menggunakan bahasa Aceh dalam keseharian, maka tidak ada salahnya kita menggunakan bahasa Aceh tersebut kedalam Himne Aceh, namun dengan pengertian yang diberikan pemerintah sebagai pengambil keputusan mutlak kepada masyarakat minoritas. Ketiga, walaupun ini adalah persoalan tentang Himne Aceh, bukanlah hal yang salah jika kita mencoba tetap menggunakan bahasa indonesia ke dalam lirik lagunya, mengingat Aceh sendiri juga merupakan bagian dari NKRI. Dengan catatan setiap lirik lagu tetap bernuansa Aceh yang nyata.

Tapi apapun persoalan, polemik maupun perdebatan dalam sayembara Himne Aceh, ada satu kesepakatan yang memiliki tujuan sama antara masyarakat dan pemerintah sebagai panitia, yaitu menginginkan adanya suatu korelasi akan keberagaman, dengan tujuan agar Himne Aceh membumi dan mengakar ke seluruh penjuru Aceh tanpa ada diskriminasi terhadap siapapun dan apapun itu. 


Penulis: Musrafiyan
Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah Dan Hukum,  
Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh


canindonesia.com - Zaim Saidi, adalah aktivis Islam yang aktif mengkampanyekan Dinar Dirham bagi masa depan Ummat Manusia. Ia menulis sebuah artikel yang viral dan mengagetkan banyak orang berjudul Misteri Pemilikan Bank Indonesia. Berikut tulisannya.

Kebanyakan orang, warga negara di hampir semua negara nasional di dunia ini, tidak memahami bahwa mata uang kertas yang mereka pakai di negaranya bukanlah terbitan pemerintah. Hak monopoli penerbitan uang kertas diberikan kepada perusahan-perusahaan swasta yang menamakan dirinya sebagai bank sentral. Sebelum ada bank sentral  sejumlah bank swasta menerbitkan nota bank yang berlaku sebagai alat tukar tersebut. Dimulai di Inggris, dengan kelahiran Bank of England, hak menerbitkan uang kertas itu mulai diberikan hanya kepada satu pihak saja. Memang, kebanyakan bank sentral itu melabeli dirinya dengan nama yang berbau-bau  nasionalisme, sesuai negara masing-masing.
Bank Sentral Milik Keluarga-Keluarga
Marilah kita ambil bank sentral paling berpengaruh saat ini, yaitu Federal Reserve AS, yang menerbitkan dolar AS. Saham terbesar Federal Reserve of America ni   dimiliki oleh dua bank besar, yaitu Citibank (15%)  dan Chase Manhattan (14%).  Sisanya dibagi oleh 25 bank komersial lainnya, antara lain Chemical Bank (8%), Morgan Guaranty Trust (9%), Manufacturers  Hannover (7%), dsb.  Sampai pada  tahun 1983 sebanyak  66% dari total saham Federal Reserve AS  ini, setara dengan 7.005.700 saham, dikuasai hanya oleh 10 bank komersial, sisanya 44% dibagi oleh 17 bank lainnya.
Bahkan, kalau dilihat dengan lebih sederhana lagi, 53% saham Federal Reserve AS dimilik hanya oleh lima  besar yang disebutkan di atas.  Bahkan, kalau diperhatikan benar, saham yang menentukan pada Federal Reserve Bank of New York, yang menetapkan tingkat dan skala operasinya secara keseluruhan  berada di bawah pengaruh bank-bank yang secara langsung dikontrol oleh London Connection, yaitu, Bank of England, yang dikuasai oleh keluarga Rothschild.
Sama halnya dengan bank-bank sentral di berbagai negara lain,  namanya berbau nasionalis, tapi pemilikannya adalah privat.   Bank of England, sudah disebutkan sebelumnya, bukan milik rakyat Inggris tapi para bankir swasta, yang sejak 1825  sangat kuat di bawah pengaruh satu pihak saja, keluarga Rothschild. Pengambilalihan oleh keluarga ini terjadi setelah  mereka mem-bail out utang negara saat terjadi krisis di Inggris.
Sanghai and Hong Kong Bank bukan milik warga Hong Kong tapi di bawah kontrol Ernest Cassel. Keduanyamenerbitkan dolar Hong Kong. Sama halnya dengan  National Bank of Marocco dan National Bank of Egypt didirikan dan dikuasai oleh Cassel yang sama,  bukan milik kaum Muslim Maroko atau Mesir.  Imperial Ottoman Bank bukan milik rakyat Turki melainkan dikendalikan oleh  Pereire Bersaudara, Credit Mobilier, dari Perancis.   Demikian  seterusnya.
Jadi, Bank-bank Nasionalseperti ini, sebenarnya, adalah sindikat keuangan inter-nasional, modal antar-bangsayang secara riel tidak ada dalam bentuk aset nyata (specie)  apa pun,  kecuali dalam bentuk angka-angka nominal di atas kertas atau byte yang berkedap-kedip di permukaan layar komputer. Bank-bank ini sebagian  besar dimiliki oleh keluarga-keluarga yang sebagian sudah disebutkan di atas.
Utang-utang yang mereka berikan kepada pemerintahan suatu negara tidak pernah diminta oleh rakyat negara tempat mereka beroperasi tapi dibuat oleh pemerintahan demokratis yang mengatasnamakan warga negara.  Mereka,  para bankir ini, adalah  orang-orang yang  tidak dipilih, tak punya loyalitas kebangsaan, dan tidak akuntabel, tetapi mengendalikan kebijakan paling mendasar suatu negara. Dan, setiap kali mereka menciptakan kredit, setiap kali  itu pula mereka mencetak uang baru dari byte komputer belaka.
Bank Indonesia Milik Siapa?
Kalau bank-bank sentral di negeri-negeri lain milik keluarga tertentu yang tidak memiliki loyalitas kebangsaan, siapakah yang memiliki Bank Indonesia?
Ini adalah pertanyaan valid yang seharusnya kita ajukan sebagai warga negara Republik Indonesia. Kita tahu, rupiah pun diterbitkan oleh BI, sebagai pihak yang diberi hak monopoli untuk itu. Kita tidak pernah diberitahu siapa pemegang sahamBI. Tapi, marilah kita tengok sejarah asal-muasal bank sentral di Indonesia ini.
Begitu Indonesia dinyatakan merdeka, para pendiri republik baru ini, menetapkan BNI 1946 sebagai bank sentral, dan menerbitkan uang kertas pertamanya, yaitu ORI (Oeang Repoeblik Indonesia), dengan standar emas, setiap Rp 10 didukung dengan 5 gr emas. Ini artinya setiap rupiah dijamin dengan 0.5 gr emas.
Tapi, ketika Ir Soekarno dan Drs M Hatta menyatakan kemderdekaan RI, Pemerintah Kolonial Belanda tidak mengakuinya, apalagi menyerahkan kedaulatan republik baru ini. Belanda mengajukan beberapa syarat untuk  dipenuhi, dan selama beberapa tahun terus mengganggu secara militer, dengan beberapa agresi KNIL. Akhirnya, sejarah menunjukkan pada kita, terjadilah perundingan itu, 1949, dengan nama Konferensi Meja Bundar (KMB).
Melalui Konferensi Meja Bundar (KMB), 1949, disepakatilah beberapa kondisi pokok agar RI dapat pengakuan Belanda.
· Pertama, penghentian Bank Negara Indonesia (BNI) 1946 sebagai bank sentral republik, dan digantikan oleh N.V De Javasche Bank, sebuah perusahaan swasta milik beberapa pedagang Yahudi Belanda, yang berganti nama menjadi Bank  Indonesia (BI).
· Kedua, dengan lahirnya bank sentral baru itu pencetakan Oeang Republik Indonesia (ORI), sebagai salah satu wujud kedaulatan republik baru itu dihentikan, digantikan dengan Uang Bank Indonesia (direalisasikan sejak 1952).
· Ketiga, bersamaan dengan itu, utang pemerintahan kolonial Hindia Belanda sebesar 4 miliar dolar ASkepada para bankir swasta itu tentunya diambilalih dan menjadi dosa bawaanrepublik baru ini.
Kondisi ini berlangsung sampai pertengahan 1965, ketika Bung Karno menyadari kuku-kuku neokolonialisme yang semakin kuat mencenkeram bangsa muda ini. Maka, Agustus 1965, Bung Karno memutuskan  menolak kehadiran lebih lama IMF dan Bank Dunia  di Indonesia, bahkan menyatakan merdeka dari  Perserikatan Bangsa Bangsa.  Sebelumnya, antara 1963-1965,  Presiden Soekarno telah menasionalisasi aset-aset perusahaan-perusahaan Inggris dan Malaysia, serta Amerika; sebagai kelanjutan dari pengambilalihan aset-aset perusahaan Belanda, pada masa 1957-1958.
Tapi Bung Karno harus membayar mahal tindakan politik penyelamatan bangsa Indonesia dari kuku neokolonialisme ini: Ir Soekarno harus enyah dari Republik ini, dan itu terjadi 1967, dengan naiknya Jenderal Soeharto sebagai Presiden RI ke-2. Dengan enyahnya Ir Soekarno, neokolonialsme bukan saja kembali, tetapi menjadi semakin kuat. Tindakan pertama Jenderal Soeharto, 1967, adalah mengundang kembali IMF dan Bank Dunia, dan kembali menundukkan diri sebagai anggota PBB.
Nekolonialisme Berlanjut
Berkuasanya Orde Baru, di bawah Jenderal Soeharto, menjadi alat kepanjangan neokolonilaisme melalui  pemberian paket bantuan pembangunan. Untuk dapat membangun, bagi bangsa-bangsa terbelakang, miskin dan bodoh, dalam definisi baru sebagai Dunia Ketiga”’ yang baru merdeka ini,  tentu memerlukan uang. Maka  disediakankan  ‘paket bantuan, termasuk sumbangan untuk mendidik segelintir elit, tepatnya mengindoktrinasi mereka, dengan ilmu ekonomi pembangunan, manajemen pemerintahan; plus pinjaman lunak, bantuan pembangunan, lewat lembaga-lembaga keuangan internasional (dengan dua lokomotifnya yakni IMF, Bank Pembangunan/Bank Dunia).
Kepada segelintir elit baru ini diajarkanlah ekonomi neoklasik, dengan model pembiayaan melalui defisit-anggaran-nya, dengan teknik Repelita bersama mimpi-mimpi elusif Rostowian-nya (teori Tinggal Landas yang terkenal itu), sebagai legitimasi dan pembenaran bagi utang negara yang disulap menjadi proyek-proyek pembangunandan diwadahi dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Untuk hal-hal teknis para teknokrat tersebut, kemudian didampingi’  oleh para konsultan spesial para economic hit men sebagaimana dipersaksikan oleh John Perkins itu. Semuanya, dilabel dengan nama indah, Kebijakan dan Perencanaan Publik.
Maka, utang luar negeri Indonesia yang hanya 6.3 milyar dolar AS di akhir masa Soekarno (dengan 4 miliar dolar di antaranya adalah warisan Hindia Belanda tersebut di atas), ketika Orde Baru berakhir menjadi 54 milyar dolar AS (posisi Desember 1997).  Lebih dari sepuluh tahun sesudah Soeharto lengser utang luar negeri kita pun semakin membengkak menjadi sekitar 250 milyar dolar AS saat ini. Sekitar 10 kalilipat! Kita tahu, jatuhnya Jenderal Soeharto, adalah akibat krisis moneter, yang disebabkan oleh kelakuan para bankir dan spekulan valas.  Tetapi, rumus klasik dalam menyelesaikan krisis moneteradalah bail out, yang artinya pemerintah atas nama rakyat harus melunasi utang itu. Ironisnya, langkahnya adalah dengan cara mengambil utang baru, dari para bankir itu sendiri!
Dan, bayaran untuk itu semua, dari ironi menjadi tragedi, adalah republik ini kini sepenuhnya dikendalikan oleh para bankir. Melalui letter of intent seluruh kebijakan pemerintahan RI, tanpa kecuali, hanyalah menuruti semua yang ditetapkan oleh para bankir. Dua di antaranya yang terkait dengan bank sentral dan kebijakan uang adalah:
1. Mulai 1999, Bank Indonesia, yang semula adalah De Javasche Bank itu, telah sama sekali dilepaskan dari Republik Indonesia. Gubernur BI bukan lagi bagian dari Kabinet RI. Ia tidak lagi akuntabel kepada rakyat
2. Mulai 2011 melalui UU Mata Uang Bank Indonesia dilegalisir sebagai pemegang hak monopoli menerbitkan uang fiat di Indonesia. Dan bersamaan dengan ini dilakukan kriminalisasi atas pemakaian mata uang lain sebagai alat tukar di Republik Indonesia. Dengan pengecualian bila diperjanjikan.
3. Dengan sendirinya pembiayaan BI di luar APBN. Keuntungan operasional sebagai bank sentral, dan satu-satunya pemain valas terbesar, dan legal, tidak pernah diketahui publik. Jumlahnya maupun penggunaannya.


canindonesia.com -(Jakarta) Penyidik senior KPK Novel Baswedan menyatakan bahwa dirinya tidak yakin POLRI akan mampu mengusut kasus penyerang dirinya dengan air keras beberapa waktu lalu karena diduga ada jenderal polisi yang terlibat dalam kejahatan itu. Bahkan ia telah pula membeberkan ciri-ciri orang yang telah menyerangnya dan dugaannya mengarahkan kepada siapa.
Demikian disampaikan Novel Baswedan dalam wawancara ekslusif dengan Aiman di Kompas TV, senin (4/9/2017) malam.

Novel mengungkapkan bahwa saat ia diperiksa oleh penyidik, penyidik langsung menyangkal bahwa ia pelakunya. Novel berharap ada tim independen yang akan mampu mengungkapkan secara terang benderang kasus nya.

“bisa kita nilai ketika ada penyidikan berlangsung. Setelah sekian lama apakah ada proses yang profesional, yang baik? Saya tidak lihat itu” kata Novel kecewa.

Novel berharap, Presiden mau membentuk Tim Independen untuk kasus ini.
“saya berharapa presiden Jokowi berkenan membentuk TGPF. Kami berhaparap kedepan perjuangan untuk berantas korupsi jadi perjuangan yang punya harapan” kata Novel berharap.

Novel Baswedan adalah Penyidik senior KPK yang mendapat serangan oleh pihak tertentu pada Selasa (11/4/2017) yang menyebabkan sebelah matanya buta dan kini ia merasa dikriminalisasi oleh pihak kepolisian dalam kasus yang lain.
Serangan terhadap novel Baswedan diduga terkait profesi Novel sebagai penyidik yang banyak mengungkapkan kasus korupsi besar yang melibatkan orang penting di negeri ini.


canindonesia.comApa yang ada di benak anda saat seorang pengacara memberikan diskon kepada kliennya? seperti diulas kembali oleh hukumonline berikut ini.

Pengacara dilarang memberi korting atau diskon!begitu tegasnya.
Memang apa salahnya?Bukankah itu hal baik jika tarif pengacara murah sehingga semakin banyak masyarakat yang dapat memperoleh bantuan hukum yang memadai?

Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin ada benarnya, tetapi Timothy J Storm justru melarang pengacara memberikan diskon atau menetapkan tarif murah. Larangan ini adalah satu dari lima kategori kesalahan fatal yang menurut Storm harus dihindari oleh seorang pengacara.

Storm adalah seorang pengacara spesialis di tingkat banding asal Illinois, Amerika Serikat . Dia juga bergelar Profesor hukum di John Marshall Law School.

Storm yang tercatat sebagai anggota illinois State Bar Assosiation (ISBA) merumuskan lima kesalahan fatal itu berdasarkan pengalaman pribadi serta pengalaman koleganya yang mengalami kesulitan ketika membuka kantor hukum sendiri.

Seringkali, pengacara tidak menyadari bahwa situasi yang jelas-jelas bermasalah, tetapi mereka pikir sebagai tantangan,ujar Storm sebagaimana dilansir www.isba.org.

Yang pertama Soal larangan diskon, Storm memaparkan tiga alasan. Yang pertama, kata Storm, sangat sederhana yakni seorang pengacara tentunya tidak ingin dikenal sebagai pengacara termurah di kotanya. Kedua, pemberian diskon tarif akan menciptakan situasi paradoks yang tidak diinginkan antara pengacara dengan kliennya. Hubungan antara pengacara dan klien akan terkontaminasi dengan rasa saling curiga.  

Jika tarif reguler saya per jam $300, dan saya beri diskon 50 persen, maka setiap saya kenakan biaya konsultasi per jam, saya akan memikirkan uang $150 yang saya tidak ambil. Di sisi lain, klien akan memikirkan uang $150 yang dibayarkan. Dalam situasi ini, klien akan berpikir bahwa tarif saya naik di awal, kemungkinan tarif diskonnya juga akan naik. Dan pada akhirnya, masing-masing pihak merasa dicurangi,Storm mencoba memberikan ilustrasi.

Alasan terakhir, dia mengutip pernyataan mantan Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln bahwa pengacara seharusnya menyelesaikan sengketa, bukan justru melanggengkannya. Terkadang, lanjutnya, sengketa memang selesai meskipun pihak terkait tidak mampu membayar pengacara. Namun, Storm tetap saja melarang pemberian diskon karena hal itu justru akan menyebabkan proses litigasi berlarut-larut.

Kesalahan fatal kedua, memberikan jasa hukum secara cuma-cuma alias pro bono. Menurut Storm, pro bono tidak seharusnya dijalankan secara terpaksa. Pengacara, katanya, seringkali terjebak dalam mitos seputar biaya pengacara. Salah satu mitos itu menyatakan bahwa pengacara, khususnya yang baru memulai karir, cenderung memiliki waktu luang yang sebaiknya digunakan untuk melakukan pekerjaan tanpa dibayar agar terbiasa dengan dunia praktik yang akan digeluti.

Mitos tersebut, kata Storm, salah kaprah. "Untuk mengembangkan bisnis bukan dengan cara melakukan pekerjaan pro bono. Jika memang memiliki waktu luang maka seharusnya anda melakukan pengembangan bisnis yang baru,dia menegaskan.

Mitos lain yang dipersoalkan Storm adalah bahwa pengacara memiliki tanggung jawab untuk menyediakan pelayanan hukum gratis. Storm sendiri sebenarnya mengaku tidak anti terhadap kewajiban memberikan bantuan hukum pro bono. Bahkan, menurutnya, kegiatan ini baik untuk mengasah jam terbang sekaligus membantu masyarakat yang benar-benar tidak mampu.

"Namun, seorang pengacara bagaimanapun tetap memiliki kewajiban menghidupi dirinya dan keluarga. Anda tidak bisa begitu saja melakukan pekerjaan pro bono,tukasnya.

Kesalahan ketiga, menggunakan uang sendiri untuk membiayi pengurusan klien. Storm mengatakan pengacara harus menghindari tipe klien yang ingin mendapat bantuan hukum tetapi bayarnya nanti. "Anda seorang pengacara bukan bank,selorohnya.

Jika bertemu klien seperti itu, Storm menyarankan agar pengacara terus terang menerangkan bahwa Saya tidak bisa memberikan pinjaman, jadi sebaiknya anda pergi ke kerabat anda atau membuat kartu kredit untuk mendapatkan uang yang akan digunakan untuk membayar saya.

Kesalahan fatal keempat, Menangani kasus yang tidak jelas arahnya.
Sebagai contoh, kasus dimana klien anda dituduh berutang sejumlah uang. Dalam kasus seperti ini, papar Storm, klien pastinya memiliki beribu alasan masuk akalkenapa utang itu seharusnya tidak dia bayar. Masalahnya, klien seperti ini juga memiliki kecenderungan tidak membayar biaya jasa pengacara di muka.

Kesalahan fatal terakhir adalah kegagalan berkomunikasi dengan klien. Storm merujuk pada laporan tahunan Attorney Registration and Disciplinary Commission yang menyatakan bahwa keluhan kliennya sebagian besar berkaitan dengan masalah komunikasi yang tidak lancar. "Klien yang bingung, marah, dan merasa tidak memperoleh informasi yang cukup adalah masalah kedisiplinan bagi para pengacara. Tidak seharusnya hal ini terjadi,tandasnya.

Berdasarkan Rules of Professional Conducts, syarat minimum yang harus dilaksanakan pengacara adalah selalu memberikan informasi kepada klien terkait kasus yang sedang ditangani. Spesifik, Storm menambahkan bahwa pengacara harus melibatkan klien dalam proses pengambilan keputusan terkait kasus. Sebelum dan sesudah mengambil tindakan tertentu, pengacara wajib menginformasikannya kepada klien. Komunikasi itu juga harus didokumentasikan.

"Kemungkinan klien mengeluh menjadi kecil karena klien selalu dilibatkan di setiap tahapan. Dan kliennya juga akan sulit mengeluh karena pengacara memiliki dokumentasi atas apa saja yang telah dilakukan,tutur Storm.


canindonesia.com - (opini) oleh : Sulaiman Tripa .
Kita sering menemukan anomali dalam hidup. Orang melakukan hal-hal yang tidak boleh, dengan mengelabui pada hal-hal yang boleh. Berbuat jahat dengan terlebih dahulu menampilkan kesan baik. Atau melakukan sesuatu yang sebenarnya batil, melalui jalur yang tampaknya lurus.

Kenyataan ini bisa muncul dalam berbagai level. Tidak hanya di tingkat atas. Jika ingin diurutkan masing-masing dalam kelas sosial yang bernama strata, maka orang-orang yang melakukan hal-hal yang tidak boleh itu, ada dalam berbagai level. Baik level atas, maupun level bawah.

Tidak ada jaminan orang yang sudah memiliki dua mobil (mewah), dengan beberapa rumah (megah), lalu tidak mencoba merampas peng bicah (uang receh) secara tidak berhak. Dan penggambaran ini tidak lantas, bahwa orang yang pada level bawah bisa melakukan hal yang demikian.

Rasuah menjadi satu wajah pada level atas. Bagaimana pelaku dan perilaku mencoleng itu berubah dan beradaptasi melalui berbagai wajah. Sebaliknya, corak perilaku yang lain, tampak seperti penggunaan berbagai bahan kimia dalam makanan yang akan dijaja kepada penjual. Rasuah mendapat untung besar, penjaja makanan yang berbahan kimia mendapat untung secuil. Keduanya sama-sama berimplikasi serius bagi banyak orang.

Itulah yang terjadi pada bulan puasa yang kita lewati. Sejumlah kasus korupsi ditemukan dengan berbagai modus dan coraknya. Lalu temuan penggunaan boraks dan formalin dalam makanan yang sepertinya juga semakin menggelisahkan. Lokasi temuan juga berubah. Dari yang hanya terkontrol di pusat, lalu bergeser ke pinggir. Dari perilaku yang bernilai miliaran, hingga pada angka beberapa juta saja.

Seyogianya setelah sebulan kita melakukan puasa, akan ada perubahan besar sesudahnya. Akan semakin berpengaruh pada keimanan. Sudah seharusnya puasa membuat kita semua semakin mempertebal keimanan dalam hal meluruskan segala niat. Puasa seyogianya menempatkan orang untuk tidak semakin rakus. Kita yang memiliki jabatan, berpeluang rakus terhadap berbagai fasilitas. Sedangkan mereka yang tidak memiliki jabatan, rakus dengan caranya sendiri: ingin untung banyak dari modal yang tidak seberapa.

Corak rakus ini, pada hakikatnya seperti orang tidak percaya akan ketentuan Allah yang sudah menentukan rezeki kita masing-masing. Tidak perlu menipu untuk mendapatkan rezeki bersih. Dengan logika bahwa semua kita sudah memiliki tumpuk masing-masing, maka seharusnya tidak ada yang perlu ditakutkan. Orang-orang yang tidak rakus, memungkinkan tidak menerima apapun selain apa yang menjadi miliknya saja. Bagi yang rakus dan ingin untung besar, bisa jadi karena takut tumpuknya akan hilang. Sedangkan kita yang punya jabatan, memiliki corak lain. Seharusnya tidak perlu meminta, mengiba, memohon, atau bahkan mengancam agar orang lain memberikan fasilitas untuk diri kita. Berbagai fasilitas itu, pada dasarnya sebagai kompensasi atas apa yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah seharusnya melayani kepentingan orang banyak.

Ketika ada orang-orang yang sudah digaji secara layak, lalu ditambah pada saat tertentu dengan tambahan gaji ke-13 dan tunjangan hari raya ketika mendekati perayaan hari fitri, namun masih terus juga meminta atau menerima sesuatu dari orang yang dilayani, maka orang itu termasuk dalam kategori rakus itu. Sesungguhnya melebihi dari rakus dan tamak. Orang-orang semacam itu justru sudah menjadikan posisinya untuk mendapatkan sesuatu secara tidak sah. Tidak peduli kompensasi itu dinamakan dengan bahasa yang halus semisal administrasi seikhlasnya, atau semacamnya.

Ketika ada orang yang sudah menempa diri dengan berpuasa, namun belum bisa menahan diri dari godaan ketamakan, maka harus dilakukan refleksi terutama refleksi batin atas ibadah yang sudah dilakukannya. Harus muncul pertanyaan mengapa ketika melaksanakan ibadah yang penuh berkah, ternyata belum bisa memosisikan seseorang untuk mendapatkan keberkahan itu secara sempurna. Posisi ketamakan dan kerakusan akan berlipat ganda apabila untuk bertanya dan berfikir untuk itu saja tidak ada.

Mudah-mudahan Allah menjauhkan ketamakan dan kerakusan ini dari orang-orang yang sudah meningkatkan durasi ibadahnya di bulan muliauntuk kemudian menjadi titik penting bagi waktu selanjutnya untuk berubah.

Hal ini bukan hal main-main. Menerima sesuatu yang berasal dari jalur yang tidak lurus, sangat fatal akibatnya, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia manusia bisa berkelit dari berbagai pihak yang melakukan pengawasan, bisa berdalih dengan berbagai macam alibi. Akan tetapi tunggulah pengawasan suruhan Pencipta yang tidak bisa berkelit dan berdalih. Semuanya akan secara benderang dinampakkan di depan hidung kita, ketika mahkamah itu sudah sampai masanya.

*Sulaiman Tripa adalah Pengamat Sosial dan Hukum Dari Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget